Rabu, 10 Juni 2009

PENGALAMAN EMPIRIS SEORANG HAKIM

Pengalaman empiris penulis ketika memutus suatu perkara, di antara kedua belah pihak berperkara ada yang menangis, kecewa berat, mangkel, gondok, dan sejuta perasaan yang tersirat di wajahnya. Tapi ada pihak yang sangat kontras, yakni tersenyum penuh kepuasan dan raut wajah yang cerah selesai mendengarkan putusan yang baru diucapkan dan diketuk palu. Secara manusiawi, yang namanya hakim juga manusia biasa, pasti ada perasaan yang sama dengan pihak yang merasa terkalahkan, akan penulis tetap tegar menghadapi fragmentasi yang terjadi di hadapannya. Sebab, seorang hakim harus profesional di bidangnya, tidak boleh larut dengan keadaan yang ada di hadapannya. Penulis mencoba mengutip kata - kata mutiara yang pernah ditulis oleh seorang Wakil Ketua Mahkamah Agung Non Yudisial yaitu: Bapak Drs. Ahmad Kamil, SH. MH, beliau mengatakan : "Seorang hakim itu ibarat seseorang yang berjalan di lorong yang gelap hanya seorang diri tanpa kawan yang mendampinginnya, akan tetapi hanya nuraninya yang bisa diajak berdialog". Hal ini dapat dipahami bahwa, seorang hakim kalau dia mengadili berdasarkan disiplin ilmunya, maka dia harus yakin terhadap apa yang ia putuskannya dan jangan ragu-ragu untuk mengambil dalam mengambil sebuah keputusan, meskipun resiko yang akan dihadapinya cukup berat. Dan penulis ingat pula sebuah adagium kalau tidak salah berbunyi: "fiat judicata rest cuelum" (tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh). Ternyata bahwa di lapangan antara law in book dengan law in action tidak harus selalu sama. Definisi keadilan yang dirumuskan oleh Filosof Aristoteles, keadilan komutatif dan keadilan distributif, akan menjadi berbeda ketika dihadapkan kepada keadilan menurut hukum. Penulis berkeyakinan bahwa, nahnu nahkumu bizh - zhawahir, wallahu yatawalla bis - saraa'ir, artinya: "kami menetapkan hukum berdasarkan protap yang ada sedangkan Allah yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi di balik fakta-fakta."

Tidak ada komentar: